Puisi Cinta Chairil Anwar, Puisi cinta yang penuh gelora (2)
Sebelumnya telah saya bahas mengenai puisi-puisi cinta Chairil Anwar yang berlatar cinta yang menggebu-gebu dan cinta yang diselipi kekecewaan. Mungkin anda juga berpikir: Adakah Chairil Anwar mempunyai perasaan romantisme? Ternyata, puisi Chairil pun ada aroma romantismenya, karena dia penyair!. Tapi memang bukan merupakn full version of lirisme seperti yang biasa kita temukan pada puisi romantis SDD. Dibawah ini ada dua taste lagi dari puisi Cinta Chairil Anwar, pertama adalah romantisme dan kedua adalah kesedihan cintanya. Tapi di setiap bagian itu pembaca/penyimak akan tetap mengenali ciri khas Chairil Anwar… herois dan liar.
Puisi Cinta Chairil Anwar Yang Mesra
TAMAN Taman punya kita berdua tak lebar luas, kecil saja satu tak kehilangan lain dalamnya. Bagi kau dan aku cukuplah Taman kembangnya tak berpuluh warna Padang rumputnya tak berbanding permadani halus lembut dipijak kaki. Bagi kita bukan halangan. Karena dalam taman punya berdua Kau kembang, aku kumbang aku kumbang, kau kembang. Kecil, penuh surya taman kita tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia Maret, 1943
Romantis sekali bukan terdengarnya? Seperti yang biasa terlukis pada mimpi-mimpi pasangan muda yang baru saja menikah. Memiliki dunia berdua, membangun sebuah rumah mungil, keluarga yang sederhana tetapi ada kedekatan jarak satu sama lain…. Hmm, Ahmad Albar bilang: Lebih baik di sini rumah kita sendiri…
Puisi Cinta Chairil Anwar Yang Sedih Sekarang kita beranjak pada puisi cinta Chairil Anwar yang beraroma kesedihan. Yang pertama adalah sajak tentang perpisahan. Sajak tentang perpisahan yang diakibatkan karena; “sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring”. Padahal puisi ini ditujukan pada “dia” yang telah diambilnya berdasarkan pilihan bebas Chairil, bait ini menjelaskannya; “ku pilih engkau dari yang banyak”. Tampaknya, meskipun telah mendapat pendamping yang dimauinya, sepi masih saja menggelayuti kehidupan. “Nasib adalah kesunyian masing-masing”.
PEMBERIAN TAHU Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing. Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. Aku pernah ingin benar padamu, Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali, Kita berpeluk cium tidak jemu, Rasa tak sanggup kau kulepaskan. Jangan satukan hidupmu dengan hidupku, Aku memang tidak bisa lama bersama Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama! 1946
Ada dua buah lagi puisi dari perasaan hati yang sedih, karya Chairil Anwar:HAMPA kepada Sri yang selalu sangsi Sepi di luar, sepi mendesak-desak Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak Sepi memagut Tak suatu kuasa-berani melepaskan diri Segala menanti. Menanti-menanti. Sepi. Dan ini menanti penghabisan mencekik Memberat-mencengkung punda Udara bertuba Rontok-gugur segala. Setan bertampik Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti. Maret 1943
SENJA DI PELABUHAN KECIL buat Sri Ajati Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut. Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap. 1946
Dua puisi di atas, adalah puisi tentang kesepian. Puisi tersebut ditujukan pada nama yang sama. Padahal rentang waktu kepenulisan Chairil diantara kedua puisi ini cukup lama,1943 dan 1946. Ini menandakan si Sri di sini benar-benar mampu memberikan rasa cinta padanya, sekaligus bonus perasaan sepi.
Dua puisi tersebut sebangun, namun pada puisi kedua curhat itu lebih implisit. Dia tidak banyak menggunakan kata sepi dan menanti lagi, bahkan juga metafora yang keras seperti puisi pertama: udara bertuba. Pada puisi kedua, ia hanya menggambarkan perasaan melalui lukisan tentang pelabuhan kecil di sore hari. Beda lainnya, pada puisi pertama secara gamblang ia menulis “buat Sri yang selalu sangsi”, sedang y ang kedua “buat Sri Ajatun”. Yang pertama, ada terlukis suatu tudingan. Yang kedua, lebih sebagai rasa kepasrahan. Capai menunggu? Puisi yang kedua itu merupakan favorit saya, polanya lebih tertata rapi dan lebih liris.Puisi Chairil Anwar memang, kaya warna. Hampir diseluruh puisnya, baik itu di dalam puisi perjuangan/herois, puisi cinta atau pun puisi tentang pandangan kegamaan, akan terlihat ada gelora di seluruh puisinya. Ada “rasa kental” di setiap puisinya, jejak kehidupannya, maklumlah…. Kan Chairil itu Penyair….
sumber: www.google.com
0 komentar:
Posting Komentar